Embun masih menetes dan kabut masih
menyelimuti pagi. Dingin yang datang bersama angin menyusup ke kamar seakan
ingin memenuhi ruangan yang penuh sesak dengan kumpulan buku yang masih
tercecer dimana-mana dan seakan sudah seperti gudang buku. Lia
terbangun.“Brrrrrr...dinginnya sampai menusuk tulang, rasanya hujan semalam
masih membekas didinding dan atap rumah”. Lia, ia adalah seorang anak perempuan
yang berusia 11 tahun dan masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Ia anak
licah dan cerewet yang suka jail pada teman-temannya. Ia anak pertama dari dua
bersaudara,
adiknya seorang anak perempuan berumur tiga tahun.
adiknya seorang anak perempuan berumur tiga tahun.
“Lia, bangun udah siang. Kamukan
harus sekolah!” teriak ibu membangunkan selagi menyapu lantai.
“Iya bu, aku udah bangun” teriak Lia
menjawab ibunya.
“Cliiiing!!!, akhirnya
selesai”.Dengan seketika tempat tidurnya yang berantakan dengan buku-buku
pelajaran sehabis mengerjakan PR semalam akhirnya bersih dan rapi. Ia bergegas
menuju kamar mandi dan segera memakai seragam sekolah. Rambut panjang yang
terurai sehabis mandi dengan tangannya yang cekatan ia sisir dan ia kucir. Pita
merah ia ikat di kuciran rambutnya, seakan menambah keceriaan menuju sekolah.
Tempat dimana ia menuntut ilmu sekaligus bertemu teman-teman.
“Lia, sarapan dulu sini ibu udah
siapin makanan” ujar ibu.
“Iya bu, sebentar” sahut Lia.
“Liaaa...berangkat yuk!” teriak
Titin, teman sekolah Lia sejak taman kanak-kanak. Rambut pendek lurus
menandakan dia anak yang aktif, dengan tas pink yang digendongnya dan terlihat
penuh dengan isinya. Entah itu buku pelajaran atau komik kesukaannya. Sejak
kelas dua SD memang ia sudah menyukai dan mengoleksi berbagai macam komik.
“Iya, sebentar tin, aku pakai sepatu
dulu” sahut Lia.
“Sarapan dulu Li!”ujar ibu.
“Maaf bu, Lia minum segelas susu coklatnya aja ya.
Lia udah kesiangan, takut telat. Nanti Lia disuruh nyapu halaman, lagi pula
Titin udah ada didepan rumahkan?”ungkap Lia sambil menenggak susu coklatnya.
“Ya sudah sana, itu hati-hati minum
susunya nanti keselek lho” ujar ibu.
“Iya bu, makasih. Lia berangkat
sekolah dulu yah, assalamu’alaikum?” pamit Lia sambil mencium tangan ibunya.
“Wa’alaikumsalam...”sahut ibu.
Liapun keluar rumah dengan
tergesa-gesa dan “thakkk...” kakinya menabrak pintu rumahnya yang sangat keras.“Aw,,,sakiiiiit”
teriak Lia.
“Kamu kenapa Li?” tanya Titin dengan
wajah cemas.
“Kakiku Tin?”jawab Lia.
“Iya, kenapa dengan kakimu?” tanya
kembali Titin.
“Kakiku menabrak pintuuu” ungkap Lia
sambil meringis kesakitan.
Ketika mereka berdua sedang
bercakap-cakap, tak terasa detik jam pun bergerak dengan cepat menandakkan
waktu semakin siang. Mereka berdua tak sadar akan tujuan awal mereka, yaitu
berangkat sekolah. Kemudian Ibu Lia keluar dari rumah setelah mendengar suara
keras tadi dan dengan nada cemas bertanya pada mereka berdua.
“Ada apa ini, kenapa kalian berdua
belum berangkat sekolah?” tanya Ibu Lia.
“Oh iya, kita lupa bu. Kita kan mau
berangkat sekolah yah?” ungkap Lia.
“Oh ya Li, aku juga lupa” tambah
Titin.
“Memangnya ada apa?”tanya Ibu Lia
“Ini bu, tadi Lia waktu keluar rumah
ga sengaja menabrak pintu rumah, ga berdarah sih cuma memar. Tapi gimana ya,
kita udah kesiangan Li” jelas Titin.
“Oh iya Tin, gimana yah? Ga apa apa
deh, kita berangkat sekarang aja yuk Tin?”ungkap Lia.
“Tapi gimana dengan kakimu, emangnya
bisa dibawa jalan?”ujar Titin.
“Ya dicoba aja deh Tin, dari pada
kita telat entar dihukum buat nyapu halaman sekolah”. Lia menegaskan.
Akhirnya mereka berdua bergegas
pergi ke sekolah. Di pertengahan jalan mereka berdua bertemu dengan Rizal dan
Deni. Mereka berdua juga teman Lia dari taman kanak-kanak. Rizal, anak
laki-laki berusia sama seperti Lia yaitu 11 tahun, hanya berbeda beberapa bulan
tetapi lebih tua dari Lia. Badan tinggi, rambutnya yang selalu klimis, kulit
hitam manis dengan lesung pipi di wajahnya seakan rasa percaya dirinya berada
diatas awan. Tapi selain itu, ia juga termasuk anak yang pintar. Buktinya
setiap ulangan tidak pernah mengikuti perbaikan. Dan anak paling sok imut dan
sok ganteng, yaaa...begitulah ciri khasnya. Sedang Deni, ia anak laki-laki jail
yang suka banget bikin perkara sama temen sekelas. Deni anak paling gemuk dan
juga berusia paling tua diantara ketiga temannya. Kebalikan dari Rizal kulitnya
agak lebih putih. Walaupun ia anak yang suka jail, tetapi dengan muka pas-pasan
dan tubuh yang gemuk, ia selalu jadi bahan ledekan sesama teman laki-laki.
Diantara mereka berempat memang Lia anak yang paling cerewet dan rame, jadi ketiga
temannya itu yang jadi sasaran kebisingan suara Lia kalau lagi ngoceh kaya
pidato kemerdekaan. Eissst, dan itu juga yang bikin suasana peretemanan mereka
jadi makin asyik. So pasti kalau ga ada Lia pasti sepi deh.
Mereka juga sering kali mengerjakan
tugas kelompok bersama. Mereka berempat memiliki jadwal tempat untuk kerja
kelompok. Misalnya hari pertama di rumah Lia, hari kedua di rumah Titin, hari
ketiga di rumah Rizal, hari keempat di rumah Deni, dan seterusnya. Mereka
bekerja sama memecahkan tugas sekolah yang sulit dipecahkan sendiri. Tapi
untungnya ada Rizal, anak paling cerdas diantara ketiga temannya. Jadi kalau
ada tugas sekolah yang sulit, mereka selalu menanyakan kepada Rizal terlebih
dahulu bagaimana cara mengerjakannya.
Kemudian mereka berempat melanjutkan
perjalanan dengan tertawa riang membicarakan hal yang lucu-lucu dan membuat
sakit perut. Ditengah-tengah perjalanan tiba-tiba terdengar suara
“thuuuuut...”.
“Ayooooo, siapa yang kentut? Kalau
ga Deni pasti Rizal nih” teriak Lia dengan wajah penasaran.
“Iya, iya siapa yah Li? Kita berdua
kan ga ikut-ikutan”sahut Titin.
“Eh, kalian berdua nuduh aku, orang
aku dari tadi lagi ngapalin rumus matematika kok. Deni kali tuuuh, buktinya
dari tadi diem aja” cela Rizal.
“Iya deh iyaaa,...aku yang kentut.
Soalnya semalem abis makan bakso” jawab Deni dengan rasa kesal.
“Trus apa hubungannya dengan bakso?”
ujar Titin.
“Ya adalah Tin, Deni kan makan bakso
satu mangkok ditambah sambel dua mangkok, pasti mules lah” ungkap Lia dengan
tertawa.
“Hi...hi...hiii, kamu bener juga
Li”jawab Titin.
“Eeeeh,,,udah udah. Malah kita debat
lagi, kita kan udah kesiangan nanti telat lagi” lerai Rizal.
“Ya udah ayo cepet, siapa suruh
bahas kentut. Kentut kan sehat!” sahut Deni.
Perjalanan yang lumayan panjang dari
rumah ke sekolah cukup melelahkan dan meneteskan keringat. Memang, desa dimana
rumah Lia dan ketiga temannya berada agak jauh dari sekolah mereka. Tapi itu
bukan menjadi masalah bagi mereka berempat, karena sejak kelas satu SD mereka
sudah terbiasa dan dibiasakan oleh orang tua mereka untuk berjalan kaki menuju
sekolah supaya sehat dan mengenal sekeliling desa mereka. Tidak hanya
lingkungan sekitar rumah mereka. Lagi pula dari rumah mereka berdua menuju
sekolah tidak ada angkutan umum, selagi ada kendaraan tidak ada yang mengantar
ke sekolah. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Ibu Lia sibuk
membersihkan rumah, memasak dan mengurusi adiknya, ayahnya sibuk dengan urusan
pekerjaannya. Kakek dan neneknya jelas ga bisa bawa motor.
Sesampainya di sekolah, mereka berempat
terlihat terengah-engah. Kelelahan akibat berlari-lari ketakutan akan terlambat
sekolah.
Untunglah mereka berempat tidak
terlambat, mereka masih bertemu dengan teman sekelas mereka lainnya yang baru
berangkat sekolah. Dan pintu gerbang masih terbuka lebar menerima siswa sekolah
yang datang untuk mencari ilmu. Segera mereka berjalan menuju kelas mereka.
“Cepat-cepat, ayo lariii!” tegas Lia
sambil menuju pintu kelas.
“Assalamu’alaikum...”ungkap mereka
berempat kompak.
“Loh, ko sepi?”ujar Rizal.
“Emangnya yang lain pada kemana yah?
Kaya kuburan aja” tambah Deni.
“Eh,.iyaaa hari ini kan Hari Rabu.
Jadwalnya kelas lima olahraga di lapangan luar, seingatku kayanya praktek
permainan bola kasti deh” jelas Lia
“Ooooh iya...” ketiga teman Lia
kompak menjawab.
“Ya udah, ayo cepet kita taruh tas,
ganti baju, langsung kelapangan luar” perintah Lia.
Mereka berempat menuju lapangan
luar. Dan benar, teman-teman mereka sudah berada di lapangan dan bersiap-siap
untuk pemanasan. Untungnya guru olahraga yang akan mengajar belum datang. Lepaslah
mereka berempat dari hukuman. Segera mereka bergabung dengan teman lainnya
untuk melakukan pemanasan. Sambil memasuki barisan dan melihat ketua kelas menjadi
instruktur pemanasan, mereka berempat bergumam.
“Li, li untung kita ga telat banget
yah. Kalau tadi beberapa menit lagi nih kita telat, bakalan kena hukuman kita.
Bisa-bisa kita ga bisa ikut penilaian praktek” ujar Titin.
“Iya bener tuh Tin, ditambah lagi
hukuman nyapu halaman sekolah, bisa-bisa kita jadi tukang bersih-bersih”.ungkap
Lia sambil menahan tawa.
“Ya tuh bener, gara-gara kamu sih
Den pake acara kentut segala, jadinya didebatin” cela Rizal.
“Kok salah aku, jelas-jelas kalian
yang berdebat bukan aku”bela Deni dengan mukan sinis.
“Stttttt...bu guru datang, bu guru
datang” bisik Titin.
Semua kelas lima melakukan pemanasan
dengan bimbingan ibu guru. Setelah selesai pemanasan, semua anak-anak berbaris
mengikuti arahan ibu guru.
“Ada yang mau bertanya?” ujar ibu
guru.
“Ada, saya bu” teriak Deni.
“Iya, kenapa kamu Den?” jawab ibu
guru.
“Bu, bu...kalau ga ikut praktek
tetep dikasih nilai ga bu. Ibu kan baik hati, cantik, dan tidak sombong” rayu
Deni.
“Ya jelas tidak, nilai itu kan
diperoleh dari praktek yang dikerjakan. Jadi, kalau kamu ga ikut praktek, kamu
ga dapet nilai. Kamu harus ikut praktek susulan dengan teman yang lain yang
sekarang ga berangkat, tapi kalau sekarang berangkat semua, berarti terpaksa
kamu harus ikut praktek susulan. Sudah mengerti Den?” jelas ibu guru.
“Oooh, gitu ya bu?”ujar Deni.
“Ya memang sudah seharusnya begitu.
Kalau boleh ibu tau, memangnya kenapa kamu tanya begitu. Kamu sakit?” tanya ibu
guru
“Emmm, engga kok bu” jawab Deni
dengan nada lemas.
“Bohong tuh bu, Deni tanya begitu
kan karena dia lagi sakit perut bu. Katanya sih abis makan bakso semalem, tapi
di temenin sambel dua mangkok” Sahut Lia sambil meringis menahan tawa.
“Oh begitu, ya sudah sana ke UKS
aja” perintah ibu guru.
“Ga ko bu, masih bisa ikut praktek
kok” jawab Deni.
Setelah lama berdiskusi dengan ibu
guru, mereka kemudian bermain kasti. Dari 30 siswa dibagi menjadi dua sama
dengan siswa laki-laki tujuh dimasing-masing kelompok. Pemenang dalam permainan
ini akan mendapat nilai lebih dari ibu guru selain nilai dari ulangan sekolah,
karena permainan kasti membutuhkan kekompakan dan usaha kuntuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Ternyata empat anak tadi tergabung menjadi satu kelompok.
Betapa senangnya mereka, lalu mereka semua bermain dengan sportif. Dan
permainan ini dimenangkan oleh tim dari kelompok Lia dan kawan-kawan. Dengan
riang gembira mereka menuju kelas dan berganti pakaian.
“Kriiing,,,kriiing...suara lonceng
berbunyi. Itu tandanya waktu istirahat sudah tiba, wajah ceria terpancar dari
semua anak-anak.
“Li, ke koperasi yuk?”ajak Titin.
“Oke deh, ngomong-ngomong kita mau beli apa, kue apa
snack?” cetus Lia.
“Agh, itu ga penting. Yang penting
itu minumannya, ayo cepet! Aku haus tau, cape habis lari” ujar Titin selagi
mengipas-ngipas wajahnya dengan buku.
“Iya iya,.” Ungkap Lia dengan sabar.
Mereka berdua pergi ke koperasi
membeli makanan, tak disangka Rizal dan Deni sudah ada di koperasi. Biasalah,
anak laki-laki kan selalu cepat dalam urusan apapun, terutama makanan, mana mau
ketinggalan. Setelah memilih dan mengambil makanan, giliran membayarnya ke
penjaga koperasi. Sesudah Titin, Deni, Rizal membayar makanan. Dengan wajah
cemas Lia mencari sesuatu di sakunya.
“Kamu kenapa Li?”tanya Titin.
“Uangku ga ada Tin, kira-kira hilang
dimana yah?” ungkap Lia cemas.
“Gimanaaa, ya udah nih pake uangku
aja Li” sahut Rizal.
“Rizal baik deh, makasiiih” ujar Lia
dengan wajah ceria.
Waktu istirahatpun berlalu, mereka
melanjutkan pelajaran disekolah dengan cermat. “Kriiing...kriing...kring” bel
pulang berbunyi, rasa senang terlihat dari semua anak-anak. Dengan cepat Lia,
Titin, Rizal dan Deni merapikan semua buku-buku pelajaran yang tercecer di
meja.
Semua anak berdoa dan mengucapkan
salam kepada ibu guru dengan dipimpin oleh ketua kelas. ketika anak-anak yang
lain berjalan menuju pintu keluar, Lia masih kebingungan dengan buku-bukunya. Ia
kehilangan buku matematikanya, Titin bertanya pada Lia. “Kamu nyariin apa Li,
kayanya penting?”.
“Iya, buku matematikaku hilang” tegas Lia.
“Udahlah, pasti ketemu. Cari besok aja, ini udah siang
loh” kata Titin.
Setelah mencari-cari tetapi tidak
ketemu, akhirnya mereka berdua menyusul yang lain keluar dari kelas. Keluar
dari kelas, Lia tampak kebingungan kembali ketika ia melihat sekitarnya. Semua
anak tiba-tiba sudah tidak ada. ”Anak-anak pada kemana ya?” ucap Lia
mengerutkan wajahnya.
Titin terdiam memandang Lia. “Tin,
kenapa diem?” ujar Lia.
“Eh iya kenapa? Anak-anak, ga tau
tuh udah pada pulang kali” sahut Titin.
“Rizal sama Deni masa ga nungguin
kita sih?”ucap Lia dengan nada cetus.
Mereka berdua berjalan pulang
seperti biasa melewati sungai kecil. Tiba-tiba “byur...”, sekantong plastik
berisi air menimpa kepala Lia.
“Happy bidhaaay to youuu” semua
teman sekelas Lia kompak bernyanyi. Ternyata itu adalah hari ulang tahun Lia,
ia tidak sadar bahwa teman-temannya telah merencanakan itu semua dari awal.
Sejak pagi hari setelah olah raga ketika ia kehilangan uang dan hingga ia
kehilangan buku matematik, itu semua akal-akalan ketiga temannya dan teman
sekelas lainnya. Semua kantong plastik air dilempar ke tubuh Lia dan semua
teman menceburkannya ke sungai. Tangan-tangan jail mengolesi wajah Lia dengan
lempung dan tanah. Sepatunya digantung diatas pohon, tasnya disembunyikan entah
dimana. Itu merupakan hal terburuk sekaligus mengasyikkan bagi Lia. Disatu sisi
ia merasa kesal karena sudah dijailin oleh teman-temannya, terutama Titin,
Rizal, dan Deni, karena mereka yang mempunyai ide seperti itu. Tapi disisi
lain, ia merasa gembira karena mendapat kejutan yang sulit dilupakan.
Dengan tubuh yang basah dan
berlumpur Lia berlari mengejar teman-temannya dan membalas semua temannya
dengan melemparkan kantong plastik air dan mendorong semua temannya ke sungai.
“Eh, jangan-jangan. Aku udah basah
kuyup nih! Masa aku mau diceburin lagi, ga asyik banget nih” ujar Lia dengan
muka belepotan lumpur.
“Yeee,,, biarin ajah. Kapan lagi
coba kita bisa kaya gini” sahut Titin.
Mereka semua bersenang-senang
tertawa riang dengan semua lelucon yang dibuat oleh anak-anak, tapi tidak hanya
kejutan itu yang didapat Lia. Ia mendapat beberapa kado dari teman sekelasnya.
Ada yang memberi buku tulis, tempat pensil, dan beberapa figura dengan hiasan
cantik dan menarik. Betapa bahagianya Lia mendapat kejutan itu, sehabis itu
mereka pulang dengan keadaan kotor dimana terdapat banyak lumpur ditubuh
mereka. Lia, Titin, Rizal, dan Deni berjalan pulang menuju rumah. Mereka
bercanda tawa sepanjang jalan, tak peduli berapa banyak orang yang membicarakan
mereka.
“Eh Li, Li, gimana rasanya pake
bedak lumpur. He he he...?”ledek Titin.
“Emmm, rasanya manis banget kaya
keju” ucap Lia.
“Bukannya keju rasanya asin
yah?”ujar Deni.
“Emang asin, lagian kalian bikin
acara seenak jidat kalian. Ga ngrasa apa aku itu sebel sama kalian. Udah
ngilangin uang aku, ngumpetin buku sama tas aku, pokoknya sebel, sebel, sebel,
bangeeeet...sama kalian bertiga”teriak Lia dengan kesal.
“Ya deh aku sama temen-temen minta
maaf, tapi jangan ngambek dong Li. Kalau kamu ngambek ga asyik dong, ga ada
yang pidato lagi” ujar Rizal.
“Itu minta maaf apa lagi
ngejek?”cetus Lia.
“Iya iya, maaf maaf deh”ujar Deni.
“Yeee, kalian ketipu. Orang aku ga
ngambek kok, cuma bales dendam aja sama kalian. Abisnya nyebelin, kenapa kalian
jadi temen kok baik banget sih? Pake ngasih kejutan kaya gini, kan ngrepotin
banyak temen” jelas Lia.
“Ih, Lia nyebeliiin. Kita kan udah
khawatir kalau kamu ngambek, eh malah lagi ngerjain balik. Tau kaya gini aku ga
minta maaf tadi” ujar Titin.
“Oh jadi gitu critanya, ya udah ya
udah. Jadi kalian minta maafnya ga ikhlas nih, okeh okeh” sahut Lia.
“Eh ga kok, engga. Kita
sungguh-sungguh minta maaf, mau kan dimaafin?” rayu Deni.
“Ya ya, aku maafin” ungkap Lia.
Akhirnya mereka berempat berjalan
menyusuri sepanjang jalan dengan tawa menuju jalan pulang. Mereka mempunyai rasa
persahabatan yang sangat tinggi, sampai-sampai ketika salah satu ada yang
berulang tahun mereka memberikan kejutan dan memberikan hadiah. Dari tahun ke
tahun mereka selalu bersama, mengerjakan tugas bersama, hingga sering berbagi
pengalaman satu sama lain. Terlebih lagi orang tua mereka selalu berkumpul
dalam sebuah perkumpulan arisan atau perkumpulan lainnya. Menambah keakraban
dan silaturahmi antar tetangga. Dan juga mereka berempat dilahirkan dalam jarak
waktu yang lumayan dekat, jadi mereka sama-sama sedang mengalami masa anak-anak
menuju masa remaja. Sebelum itu mereka berkembang melalui proses yang
mengasyikkan dan memperoleh pembelajaran melauli berbagai perilaku dalam
kehidupan. Bertambah umur, bertambah juga pengetahuan yang lebih luas mengenai
dunia diluar sana. Jika kita melakukan suatu tindakan, harus didahului dengan
niat yang baik dan dilakukan dengan baik pula. Carilah teman sebanyak-banyaknya
bukan mencari musuh sebanyak-banyaknya. Teman yang baik itu akan dapat membantu
kita dalam keadaan suka maupun duka. Dan Lia, Titin, Rizal, dan Deni lah
contohnya. Pertemanan tanpa batas untuk sebuah kebaikan dan kebahagiaan. Itulah
akhir cerita dari sebuah persahabatan yang tulus tanpa adanya balas budi dan
jasa.
TERIMA KASIH
No comments:
Post a Comment