Ah,
rasanya baru kemarin aku mengenalmu. Tapi entah mengapa, hari seperti
berkelebat dengan rapat. Atau, mungkin hanya karena aku yang terlalu cepat
mengedipkan mataku. Tak terasa, sudah 3 tahun yang lalu, sejak
untuk pertama kalinya aku merasakan ada sesuatu yang bercokol dan menggebu
dalam ulu hatiku. Sesuatu yang begitu tak tertahankan, tapi begitu sulit
diungkapkan, apalagi untukku, seorang yang sama sekali tak punya pengalaman
maupun
keberanian. Namun sungguh, bagiku, merupakan suatu hal yang menyakitkan untuk menunggu dan terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian. Bagiku, mencintaimu adalah sesuatu yang tiada terelakkan. Mencintaimu adalah membingungkan. Mencintaimu, adalah bagian dari perjalanan hidup, yang belum terlihat titik ujungnya di kaki langit kehidupan yang diwarnai bianglala sarat warna.
keberanian. Namun sungguh, bagiku, merupakan suatu hal yang menyakitkan untuk menunggu dan terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian. Bagiku, mencintaimu adalah sesuatu yang tiada terelakkan. Mencintaimu adalah membingungkan. Mencintaimu, adalah bagian dari perjalanan hidup, yang belum terlihat titik ujungnya di kaki langit kehidupan yang diwarnai bianglala sarat warna.
Ah. mencintaimu, hanyalah satu takdir yang harus
dijalani. Tak pernah lebih dari itu. Karena, hampir tiada harapan kosong yang
bisa kuisi dengan mimpi dan fantasiku tentangmu, pujaan hati ...
6 November 2011
Sinar sang surya telah menegaskan batas
antara bukit dan kaki langit. Embun pagi telah menjatuhkan dirinya di atas bumi
yang masih menggeliat setelah terlelap dalam tidurnya. Begitupun dengan diriku.
Aku menyapa bukit hijau di seberang lewat jendela kamarku. Kuisi paru-paruku
dengan udara pagi yang lembap, sembari menyentuh mataku yang sembap. Ah, sial.
Semalam aku menumpahkan tangisku lagi. Lantas kuperhatikan wajahku yang kusut
di cermin. Aku benar-benar dalam kondisi tak layak untuk menyapa dan menjalani
satu lagi hari yang akan bergulir ini.
Tapi tak mengapa, satu pukulan tak akan membuatku tumbang—kecuali, pukulan
sebuah gada raksasa, mungkin cukup membuatku terguncang. Ah, ku buang saja
pikiran ini jauh-jauh. Aku segera menata diriku, bersiap menjalani rutinitasku
sebagai seorang pelajar di sebuah SMP ternama di kotaku. Ya, sebagai seorang
pelajar kelas 3 SMP, kurasa tidaklah pantas untuk mengurung diri di kamar dan
menangis sepanjang hari. Apalagi usiaku kini sudah menginjak 13 tahun—usia yang
cukup untuk mulai memahami jalan kehidupan yang begitu berliku dan terjal.
Lagipula, aku tak ingin pertahanan diri yang selama ini susah payah ku bangun,
runtuh karena satu tekanan luar. Dan satu lagi, aku hanya ingin fokus dengan
ujian nasional yang kini sudah berada di depan mata. Dan karena serentetan
alasan itulah, aku menguatkan diri dan langkahku, mencoba untuk berjalan tegak
dan tak gontai. Dan disinilah aku, lingkungan sekolahku yang sehari-hari
menjadi saksi bisu akan misiku untuk memperoleh satu detik waktu demi bisa
menatap wajahnya sepuas hatiku.
Tapi, dewi fortuna sepertinya tak
berpihak padaku hari ini. Baru di pagi ini, aku membangun kembali semangatku
yang sempat pecah berantakan dan di pagi ini pula, sesuatu terjadi dan kontan
merobohkan kembali semangatku.
Ia ada disana—Dewata Rio Hakiki ada di
sana. Tapi ia tidak sendiri. Seorang gadis tinggi semampai berkacamata dan
berambut sebahu ada disana juga. Mereka terlihat sangat ceria, menampakkan
suasana hati yang cerah lewat binar mata mereka. Dalam sekejap, aku telah
terhenyak menatap pemandangan itu. Hatiku begitu masygul melihat kedekatan
sepasang kekasih itu. Aku hampir tak kuasa membendung air mata yang hendak
menetes untuk ke sekian kalinya, sebelum aku sadar, seseorang memanggilku dari
kejauhan.
“Tara.....!”
Rupanya itu Hibat Amura, temanku yang duduk
bersebelahan denganku di kelas IX A. Aku segera mengubah raut wajahku dan
berusaha tersenyum di hadapannya. Namun tampaknya Hibat tahu ada yang tak beres
denganku.
“Tara, kamu tidak seperti biasanya. Apa kamu sedang
dilanda masalah? Berbagilah denganku..” Hibat menatap tajam mataku, mencoba
mencari jawaban atas pertanyaannya. Ia sedikit terkejut melihat mataku yang
sembap.
“Ah, tidak, sama sekali tidak ada apa-apa, Hi.. Aku
hanya lelah karena semalam aku tak bisa memicingkan mataku sedikitpun.” Aku
berbohong pada satu-satunya orang yang belum pernah kubohongi.
“Jika kamu tidak bisa tidur, itu berarti kamu mempunyai
sesuatu yang membebani pikiranmu.”
Aku baru sadar, merupakan sebuah kesalahan untuk
membohongi orang peka seperti Hibat.
“Aah, tidak, Hi.. Sungguh, mungkin karena tekanan
ujian nasional, seperti anak-anak pada umumnya.”Aku sempat tak yakin dengan
jawabanku, tapi syukurlah, Hibat hanya memandangiku dan sekejap kemudian ia
telah menggandengku dan kami melangkah bersama menuju kelas. Aku diam-diam
melirik ke arah dimana Kiki tengah bersama kekasihnya tadi. Mereka sudah tidak
ada disana. Tapi sejurus kemudian, aku melihat Kiki menuruni tangga dari lantai
atas sekolah, dimana ruang kelas VIII ada disana. Rupanya Kiki baru saja
mengantarkan Bella—kekasih barunya menuju ruang kelasnya. Lagi-lagi hatiku
masygul dibuatnya. Aku terus memandangi Kiki hingga ia sampai di kelasnya,
kelas IX B yang bersebelahan dengan kelasku. Aku menelan kekecewaan di hatiku
dan mencoba untuk tetap bungkam. Sepanjang hari
ini, aku mencoba memahami materi pelajaran intensif dengan segenap
konsentrasi yang masih bisa ku himpun. Namun, semakin keras aku mencoba untuk
berkonsentrasi, bayangan wajah Kiki dan Bella semakin memenuhi pikiranku.
“oh, ayolah. Aku hanya ingin hari ini cepat berlalu.
Jadi aku bisa berkeluh kesah dan meluapkan semuanya di kamarku.”
“Eh, Tara?” Nampaknya Hibat mendengar keluhanku.
“Tidak, maksudku soal ini sulit..”
Dan jam demi jam pelajaran kulalui tanpa
konsentrasi berarti. Waktu terasa berjalan dengan amat lamban. Aku ingin segera
pulang, namun waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi. Waktu istirahat pertama pun
tiba. Aku sangat enggan beranjak dari kursi, namun Hibat terus memaksaku
menemaninya pergi ke kantin sekolah. Apa daya, aku terpaksa mengesampingkan
rasa engganku demi memenuhi keinginan sahabatku, Hibat.
Di kantin sekolah, suasana sudah agak
lengang karena waktu istirahat hanya tersisa sekitar 5 menit. Aku yang menunggu
Hibat dengan enggan di depan kantin seketika terkesiap ketika seseorang
menabrakku dengan kuat dari belakang. Aku kontan meneriakkan nama Hibat karena
kupikir itu adalah ulah Hibat. Namun ketika aku menoleh, yang kulihat justru
wajah anak itu. Agitha Bella Briliani. Tak ada satu pun kata yang keluar dari
mulutku. Aku begitu terhenyak dengan kejadian itu. Apalagi, ia hanya mengatakan
2 kata yang cukup mengecewakan : ‘maaf, ya’, dan berlalu begitu saja.
“Huh, apa yang Kiki suka dari gadis lancang sepertinya!!”
aku mengumpat dalam hatiku.
Hibat sempat menanyakan kejadian yang menimpaku,
tapi aku bersikeras tidak mau membicarakannya dengan Hibat. Mungkin karena
sebelumnya Hibat belum pernah melihatku sekesal ini dengan seorang yang—menurut
sepengetahuan Hibat—sama sekali belum ku kenal, ia menjadi sangat penasaran dan
mencoba menginterogasiku. Namun aku mengelak dari pertanyaan-pertanyaan Hibat.
Dan karena itulah, setelah pergi dari kantin, Hibat tidak mau bicara padaku. Biarlah, toh seperti
biasanya, dalam hitungan menit Hibat sudah kembali seperti sediakala.
Sisa hari inipun kulewati dengan
serangkaian mata pelajaran yang tidak begitu kusukai. Bapak dan ibu guru tidak
lelah mengingatkan anak-anaknya tentang UN yang berjarak 6 bulan dan Ulangan
Semester yang tidak lama lagi akan dilaksanakan.Sementara itu aku malah sibuk
memikirkan suatu hal yang sama sekali tidak urgen untuk dipikirkan saat ini.
—Kamu
benar-benar memilih waktu yang tidak tepat untuk menjalin hubungan. Kenapa baru
sekarang, saat ujian benar-benar dekat di depan kita? Kalau saja dari dulu kau
membuka hatimu, tentunya ada kesempatan untukku—
Sedetik kemudian, aku baru sadar bahwa
pikiranku terlalu konyol. Ironisnya, kekonyolanku berlanjut. Aku pun mulai
melakukan hal-hal yang sangat tidak penting di kelas, sama sekali tidak
mendengarkan ceramah dari ibu guru di jam terakhir ini.
1.
Amun Ra. Dengar keluhku di bawah sinarmu. Dengar pujaku
dalam tiap terpaan cahayamu. Kau membuatnya tampak begitu sempurna...
2.
Kenyataannya, sekarang, untuk yang kesekian kalinya, aku
telah terkena tipu daya cinta. Kali ini aku benar-benar tersihir dan aku
benar-benar telah kehilangan kendali atas diriku. Hati kecilku berkata, ‘tak
sepantasnya kamu marah atas kenyataan ini. Betapapun menyakitkan kenyataan ini
untukmu, terimalah. Kau tahu kau ini kuat. Lupakan. Anggap saja sebagai
pelajaran hidup yang membuatmu semakin kuat dan tidak terbantahkan.’
3.
Dia itu MILIKKU. Bukan MILIKMU. Tapi karena aku ingin
bahagia melihatnya bahagia, jadi kubiarkan saja kamu MEMILIKINYA. Jika kau
berani menyakitinya, maka aku akan mengoyak jantungmu dan meminum darahmu!
4.
Berlebihan.
5.
Aku benar-benar menggila!
6.
Cinta adalah pasir. Semakin erat aku menggenggamnya, semakin
banyak pasir yang hilang dari genggamanku.
7.
Mengapa harus bertepuk sebelah tangan, jika kemarin tangan
kita telah dipertemukan? Mengapa harus bertepuk sebelah tangan? Padahal kau
telah memberiku kepercayaan : aku berhak dicintai.
8.
Aku tahu hampir segalanya. Ingatkah kita punya merek telepon
seluler yang sama? Lagu favorit yang sama? Hobi yang sama? Kenapa hanya
perasaan kita yang membatasi segala kesamaan diantara kita yang sebelumnya
telah Tuhan takdirkan?
Jika kau ada
dan membaca ini, mungkinkah kau baru mengerti bahwa ada aku yang mencintaimu
lebih baik dari siapapun, termasuk Bella yang kau banggakan itu?
Jika ia
meninggalkanmu, datanglah padaku. Ada Tanazulia Taraqi disini.Tanazulia Taraqi, BUKAN Agitha Bella
Briliani.
Bel pulang berbunyi nyaring ketika aku
selesai menyalurkan kekonyolan dan kekecewaanku lewat tulisan di kertas yang
langsung kuremas-remas dan kubuang ke tempat sampah. Namun hariku belum
berakhir sampai disini. Aku masih harus browsing
mencari tugas lewat internet. Dengan memanfaatkan fasilitas wifi, aku yang ditemani Hibat ber-wifi-ria di depan kelas. Hibat tiba-tiba
memutuskan pulang dan meninggalkanku sendiri. Menit demi menit berlalu, aku
cukup puas dengan hasil yang kudapatkan. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 3
sore, karena itulah aku bergegas membereskan laptopku dan keluar dari sekolah. Aku
menyeberang jalan dan tanpa kuduga, Kiki ada di seberang sana sendirian. Aku
memutuskan untuk bersikap seperti biasa. Namun tak bisa ku pungkiri, aku sangat
canggung berada di dekatnya. Kiki kemudian mengajakku mengobrol, tentang
pelajaran ini dan itu. Sangat jelas di wajahnya bahwa ia sedang dalam suasana
hati yang amat baik. Sangat kontras dengan apa yang kurasakan. Rasa penasaranku
mulai muncul. Aku nekat memberinya ucapan selamat. Aku memaksakan diri
tersenyum padanya dan mengucapkan sesuatu pada Kiki.
“Selamat ya, atas ke-jadian-nya.” Aku sengaja
memenggal kata itu menjadi sedemikian rupa. Tak kusangka, ia terdiam sesaat,
dan mulai angkat bicara dengan nada yang berbeda.
“Apa yang kamu bicarakan? Apa maksudmu?”
“Maksudku, bukankah buah bibir yang beredar itu memang
benar?” aku berusaha mati-matian untuk terdengar tidak menyedihkan.
“Tidak.” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
Kami pun terdiam untuk jangka waktu yang cukup lama.
Kemudian sebuah mikrobus datang. Aku langsung menaikinya tanpa mengucapkan sepatah
kata pun pada Kiki.
Dan ketika
Kiki telah berada jauh di belakangku, mataku memanas karena Kiki yang begitu
dingin padaku. Tidak seperti dulu.
“Dasar kamu munafik. Tapi aku tetap menyukaimu.”
Gumamku dalam hati.
Seperti malam
sebelumnya, malam ini pun aku menangis tersedu-sedu di sela-sela ingatanku yang
terbang ke masa lalu yang menyenangkan...
Aku sangat ingat dengan sosok itu.
Satu-satunya anak laki-laki di kelas 8 yang hampir setiap hari berteman dengan
anak-anak perempuan. Satu-satunya anak laki-laki yang membawa botol minuman di
tasnya. Anak laki-laki yang rajin mengerjakan PR dan sangat disayangi orang
tuanya. Anak laki-laki yang suka makanan berperisa strowbery. Anak yang keras
kepala tapi menyenangkan. Anak laki-laki yang berhasil menarik hatiku. Anak
yang selalu membuatku terpesona dengan segala polah tingkahnya. Anak yang
memberiku harapan untuk dicintai. Satu-satunya anak laki-laki yang memanggilku
dengan buaian manis ‘endul’ di setiap perkataannya. Dia, Dewata Rio Hakiki.
Kiki yang mengisi relung hatiku hingga sekarang ini. Kiki yang selalu kuturuti
permintaannya. Kiki yang dulu sangat dekat denganku. Kiki yang pesan singkatnya
tidak pernah terhapus di memori teleponku. Kiki yang membuatku tergila-gila.
Kiki yang membuatku takut dan ragu untuk bicara jujur. Aku yang selalu takut
jika ia tak mau lagi dekat denganku. Aku yang sangat takut jika aku terluka
karena Kiki tak punya rasa yang sama denganku. Aku yang selalu meminta
kepastian dari Tuhan akan perasaan Kiki padaku. Dan aku yang menangis
tersedu-sedu ketika akhirnya Tuhan memberikan jawaban atas pertanyaanku tentang
perasaan Kiki padaku.
Aku hancur
karena permintaanku sendiri.
Seandainya aku tak pernah meminta pada
Tuhan tentang hal konyol itu, tentu aku tak akan hancur lebur seperti ini.
Biarlah aku menjadi buta dan tak tahu apa-apa tentang Kiki, daripada aku harus
menyaksikan kebahagiaan Kiki dengan orang lain diatas kehancuranku.Namun karena
Tuhan terlanjur menjawab pertanyaanku, biarlah sekarang Kiki bahagia. Walaupun
aku hancur karenanya.
Masa lalu adalah
milikku. Tak peduli Kiki akan mengingatnya atau tidak. Yang jelas masa itu
kujalani dengan Kiki. Jadi aku tak perlu iri dengan Bella. Karena sebelum
Bella, Kiki telah mengalami masa indah denganku, walau hanya dilihat dari sudut
pandang seorang Tanazulia Taraqi yang tak beruntung.
Walau aku hampa
dan lukaku semakin tergores lara.. Kucoba jalani waktu yang bergulir ini seperti
yang seharusnya, seperti yang telah Tuhan goreskan dalam kanvas hidupku.J
Hari-hariku sebagai siswi kelas IX SMP
terasa sangat tidak menyenangkan. Aku sudah tidak pernah betah lagi berada di
sekolah, sangat berbeda ketika aku masih ada di kelas VIII. Selain karena
masalah Kiki dan kekasih barunya serta ujian nasional yang semakin dekat, hal
lain yang membuatku merasa tidak betah adalah sikap Kiki yang berubah 180
derajat padaku. Bagiku tidaklah terlalu menjadi masalah jika cintaku pada Kiki
bertepuk sebelah tangan, toh aku sudah biasa diperlakukan begini oleh Tuhan,
dan aku juga sosok yang tidak mudah terpuruk sedemikian dalam. Begitu terjatuh,
aku tak memerlukanwaktu lama untuk bangkit. Tapi, yang aku cemaskan adalah Kiki
yang tak pernah lagi tersenyum padaku. Ia berubah sangat dingin padaku. Suatu
hari, aku pernah terlibat obrolan lewat jejaring sosial dengan Kiki. Aku sedih
karena Kiki terus-terusan menyalahkanku. Ia bersikeras bahwa yang selama ini
sombong adalah diriku, bukan Kiki. Kiki merasa bahwa ia tak pernah
mendiamkanku, ia merasa aku yang mendiamkannya.
“Bagaimana mungkin aku bisa berbicara denganmu? Jika
tiap kali aku ingin mengatakan sesuatu, kau memalingkan wajahmu seakan tak
ingin melihatku lagi..?” Kiki berceloteh lewat akun jejaring sosialnya.
“Memangnya kapan kau ingin berbicara denganku?”
Tak pernah ada jawaban lagi dari Kiki.
“Kau tahu? Itu karena aku terlalu lemah untuk
menatapmu. Aku terlalu takut untuk melihat rona bahagiamu.” Aku bergumam, tanpa
pernah berani mengungkapkannya pada Kiki.
Dan semakin hari, semakin dekat dengan ujian
nasional, aku dan Kiki semakin jarang berkomunikasi. Kami seperti orang yang
tak saling kenal. Hubungan kami makin renggang. Aku juga sering melihat Kiki
sedang berduaan dengan Bella. Pemandangan yang selalu sukses membuatku mual dan
kesal sendiri.
Hingga saat memasuki ulangan semester,
walaupun konsentrasiku acapkali terganggu oleh bayangan wajah Kiki dan Bella,
aku berusaha mati-matian belajar, supaya dapat menaikkan peringkatku yang
terbiasa bertengger di kisaran 20 besar paralel. Aku sering berpikir, akankah
prestasi Kiki berkurang sejak ia menjadi kekasih Bella? Tapi kemudian aku
sadar. Itu sama sekali tak ada hubungannya denganku. Aku mencoba fokus dengan
janjiku pada ibu untuk masuk 10 besar. Dan syukurlah, berkat usahaku dan doa
orang-orang terdekatku, dalam tes kali ini aku berhasil meraih peringkat 2 di
kelas dan peringkat 9 dari 255 siswa kelas IX. Prestasi yang cukup membuat
orang tuaku tersenyum padaku. Dan saat upacara bendera Senin pagi, saat yang
kutunggu akhirnya tiba. Saat dimana anak-anak peringkat 1-10 besar paralel dari
kelas VII, VIII dan IX di panggil maju ke depan dan menerima piagam
penghargaan. Satu persatu nama anak dipanggil. Sampai di peringkat 8, aku
menelan ludah karena selisih poinnya begitu tipis denganku. 1557 dan 1556 poin.
Dan yang membuatku makin mual adalah, peringkat 8 diraih oleh..
“..Dewata Rio Hakiki dari kelas IX B..”
“Dan peringkat 9, dengan jumlah nilai rapor 1556,
diraih oleh Tanazulia Taraqi dari kelas IX A..”
Aku maju ke
depan diiringi tepuk tangan teman-teman kelas IX A. Saat itu, Bella menjadi
dirigen, ia terlihat menlempar senyumnya pada Kiki. Lagi-lagi aku mual dengan
pemandangan seperti ini. Sungguh, kenangan yang kukira tadinya akan menjadi
indah justru membuatku muak dan kesal. Kenapa aku masih kalah dibandingkan
Kiki? Aku kesal dengan diriku sendiri. Aku bertekad untuk melupakan Kiki.
Walaupun aku benar-benar tak bisa melakukannya.
Ujian nasional kulalui dengan cukup
lancar. Meskipun tak ada satu pun nilai 100, tapi dengan NEM 36,00 aku cukup
optimis bisa masuk SMA favoritku, meskipun aku tahu, aku gagal di jalur PMBP. Dan
lagi-lagi aku muak karena Kiki diterima lewat jalur khusus itu. Padahal tadinya
aku lega karena sepengetahuanku, Kiki tak akan masuk SMA yang sama denganku.
Jadi aku pikir, aku punya kesempatan untuk melupakannya. Dugaanku salah, aku
melihatnya diterima saat pengumuman peserta didik yang lewat jalur PMBP tiba. Tapi
akhirnya, dengan susah payah aku berhasil masuk ke SMA ini lewat jalur tes
seleksi, menyusul Kiki yang sudah diterima terlebih dahulu.
Dan aku semakin tak menyangka, Tuhan
membuatkan jalan yang sedemikian rumit bagiku. Setelah beberapa bulan resmi
menjadi siswi kelas X, sekitar pertengahan bulan Agustus, aku mendengar kabar
bahwa Bella memutuskan hubungan dengan Kiki, karena Kiki terlalu sibuk dengan
urusannya. Entah mengapa, aku tidak terlalu bahagia menanggapi kabar ini. Tapi
tak bisa ku pungkiri, terbesit sedikit harapan dalam benakku. Apalagi,
belakangan ini aku menjalani pelatihan debat bersama-sama dengan Kiki.
Kerenggangan yang sempat membatasi jarak antara aku dan Kiki makin tersamarkan.
Aku mulai berkomunikasi kembali dengannya. Namun, memang ada sesuatu yang
sangat berbeda dengan Kiki. Dia tidak lagi sehangat dulu, bisa tertawa dengan
renyah. Sekarang, sangat sulit bagiku membuatnya tersenyum. Aku senantiasa
mencoba menbangkitkan ingatannya tentang
masa laluku dengannya.
“Hei. Apakah kamu ingat dengan es krim stroberi yang
setiap hari kamu beli di kantin SMP dulu?”
“Tidak. Lagipula itu tidak penting.”
Sungguh, Kiki bukanlah Kiki yang dulu.
“Hei, aku rasa kamu dulu pernah iseng menuliskan
sesuatu di buku IPS-ku, apa itu?”
“Entahlah.”
Aku mencoba bersabar, karena mungkin
sangat tidak mudah untuk membuka hati orang yang baru saja patah hati. Aku
mencoba dengan segenap usaha, mencoba terlihat baik dan apa adanya di depannya.
Aku tidak pernah terlambat membalas pesan singkatnya. Aku berusaha tidak
membuatnya kecewa berteman lagi denganku. Namun, ia tak pernah membalas pesan
singkatku yang menurutnya tidak terlalu penting dengan cepat. Ia baru akan
membalas jika pesan singkatku berisi sesuatu tentang masalah debat, pelajaran,
dan masalah-masalah yang ada di lingkup itu. Yang kulihat, ia selalu sibuk
dengan kegiatannya tapi masih menyempatkan dirinya mengenang dan mencoba
mendekati Bella lagi, lewat jejaring sosial. Tak urung, hal ini begitu
membuatku penasaran dengan sosok Bella yang bisa membuat Kiki bertingkah
sedemikian berbeda.
Dan, bulan demi bulan berlalu. Tepat
tanggal 23 Maret 2013, Bella merayakan ulang tahunnya yang ke-15. Aku tak tahu
apa yang akan dilakukan Kiki, dan aku benar-benar tak mau tahu. Tapi, siang ini
aku tak sengaja membuka profil jejaring sosial milik Bella. Disana ada hampir
100 orang yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Bella. Namun aku begitu
terkejut ketika membaca percakapan antara Bella dengan seorang temannya.
“Selamat ulang tahun, Bella. Acara makannya aku
tunggu.”
“Wah, terima kasih. Tapi suatu saat.. J”
“Suatu saat? Lebih baik aku memintanya pada Kiki
saja.”
“Kiki? Aku sudah
tak menyukainya!”
“Dasar kamu labil. J”
“Biarkan saja.. J”
Aku miris melihat Bella yang begitu
mudahnya mengatakan bahwa ia tak lagi menyukai Kiki, padahal Kiki begitu
berubah drastis sejak ia mengenal Bella dan mencoba mendapatkan Bella
kembali.Aku merasa jengkel, kesal dengan ulah Bella, walaupun aku tak pernah
mengenalnya secara langsung.
—Seandainya
Kiki membaca ini, mungkinkah ia akan berhenti menaruh harapan pada Bella?—
Ya, tentu. Kiki akan sadar bahwa Bella
tak seperti yang ia harapkan. Aku berpikir untuk menunjukkannya secara halus
pada Kiki. Aku berpikir mungkin Kiki akan mulai mempertimbangkan diri untuk
membuka hatinya pada orang lain, termasuk padaku. Namun, tiba-tiba aku teringat
kejadian beberapa hari lalu ketika aku tak sengaja melihat pesan-pesan Kiki
pada Bella satu tahun yang lalu. Pesan-pesan yang berisi curahan kegundahan
hati Kiki akan ketakutannya kehilangan Bella. Aku bisa merasakan betapa Kiki gelisah
dan begitu tidak siap mengakhiri hubungannya dengan Bella. Aku belum pernah
melihat Kiki berkata sedemikian tulus.
—Jika kita
bisa bersama lagi, aku berjanji akan mencintaimu dengan benar—
Walaupun itu ditujukan pada Bella dan bukan padaku,
tapi aku dapat merasakan bahwa Kiki adalah sosok yang sangat tulus dalam
mencintai seseorang.
Aku menjadi iba jika harus melihat Kiki
hancur karena pernyataan Bella yang demikian menyakitkan. Karena itu, aku
mengurungkan niatku. Biarlah, cukup aku yang mengetahuinya. Sudah sangat cukup
bagiku mengetahui Bella tak lagi mencintai Kiki.
Aku akan
membiarkan Kiki terus berharap. Sebagai sahabat yang tak dianggap, aku tetap
harus mendukungnya. Selama ia bahagia, aku akan mencoba bahagia, meskipun harus
memaksa. Aku akan mencoba menjadi teman satu tim yang baik, aku harus
memastikan bahwa aku benar-benar melakukannya. Aku adalah teman satu tim yang
baik. Tidak lebih dari itu.. J
Flashback : 11 Maret 2013
“Sulit sekali menggambar ekspresi manusia di ibu
jari. Bisa kau gambarkan?”
Kiki melihatku dan sekejap kemudian, ia memegang
tangan kananku dan mulai menggambar sesuatu di ibu jariku.
“Sudah selesai.”
Aku terkejut, karena Kiki menggambar ekspresi orang
menangis dengan detail air mata yang begitu deras.
—Aku tahu, aku
paham apa yang kau rasakan. Jangan lagi bersedih. Karena aku akan turut
bersedih—
Aku hanya bergumam
dalam hati. Aku memukul bahunya dan tersenyum padanya. Aku menghapus gambar Kiki di jariku. Aku pergi
meninggalkan Kiki yang masih bingung dengan apa yang barusan kulakukan.
Menggila
oleh Hemi Trifani
Berawal
dari senyum manis
Berakhir
dengan hujan tangis
Raga,
habis meniti kisah yang ironis
Filantropi
naas yang berakhir tragis
Kenyataan
yang berputar balik
Bagai
awan badai tropik
Menyayat
hati sebagai badik
Menghempas
asa hingga ke belik
Belalak
mata luluhkan jiwa
Gemulai
tubuh penuh pesona
Paraunya
menggoda telinga
Khianatnya
adalah sebesar-besarnya luka
Aku
lemah diperdaya cinta
Lukaku
makin tergores lara
Apa
daya, aku tak lagi kuasa
Membendung
rasa yang makin menggila
----TAMAT----
Hemi Trifani
No comments:
Post a Comment