Monday, 5 June 2017

CERPEN : Filantropi Taraqi

Ah, rasanya baru kemarin aku mengenalmu. Tapi entah mengapa, hari seperti berkelebat dengan rapat. Atau, mungkin hanya karena aku yang terlalu cepat mengedipkan mataku. Tak terasa, sudah 3 tahun yang lalu, sejak untuk pertama kalinya aku merasakan ada sesuatu yang bercokol dan menggebu dalam ulu hatiku. Sesuatu yang begitu tak tertahankan, tapi begitu sulit diungkapkan, apalagi untukku, seorang yang sama sekali tak punya pengalaman maupun
keberanian. Namun sungguh, bagiku, merupakan suatu hal yang menyakitkan untuk menunggu dan terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian. Bagiku, mencintaimu adalah sesuatu yang tiada terelakkan. Mencintaimu adalah membingungkan. Mencintaimu, adalah bagian dari perjalanan hidup, yang belum terlihat titik ujungnya di kaki langit kehidupan yang diwarnai bianglala sarat warna.
Ah. mencintaimu, hanyalah satu takdir yang harus dijalani. Tak pernah lebih dari itu. Karena, hampir tiada harapan kosong yang bisa kuisi dengan mimpi dan fantasiku tentangmu, pujaan hati ...
6 November 2011
Sinar sang surya telah menegaskan batas antara bukit dan kaki langit. Embun pagi telah menjatuhkan dirinya di atas bumi yang masih menggeliat setelah terlelap dalam tidurnya. Begitupun dengan diriku. Aku menyapa bukit hijau di seberang lewat jendela kamarku. Kuisi paru-paruku dengan udara pagi yang lembap, sembari menyentuh mataku yang sembap. Ah, sial. Semalam aku menumpahkan tangisku lagi. Lantas kuperhatikan wajahku yang kusut di cermin. Aku benar-benar dalam kondisi tak layak untuk menyapa dan menjalani satu lagi hari yang akan  bergulir ini. Tapi tak mengapa, satu pukulan tak akan membuatku tumbang—kecuali, pukulan sebuah gada raksasa, mungkin cukup membuatku terguncang. Ah, ku buang saja pikiran ini jauh-jauh. Aku segera menata diriku, bersiap menjalani rutinitasku sebagai seorang pelajar di sebuah SMP ternama di kotaku. Ya, sebagai seorang pelajar kelas 3 SMP, kurasa tidaklah pantas untuk mengurung diri di kamar dan menangis sepanjang hari. Apalagi usiaku kini sudah menginjak 13 tahun—usia yang cukup untuk mulai memahami jalan kehidupan yang begitu berliku dan terjal. Lagipula, aku tak ingin pertahanan diri yang selama ini susah payah ku bangun, runtuh karena satu tekanan luar. Dan satu lagi, aku hanya ingin fokus dengan ujian nasional yang kini sudah berada di depan mata. Dan karena serentetan alasan itulah, aku menguatkan diri dan langkahku, mencoba untuk berjalan tegak dan tak gontai. Dan disinilah aku, lingkungan sekolahku yang sehari-hari menjadi saksi bisu akan misiku untuk memperoleh satu detik waktu demi bisa menatap wajahnya sepuas hatiku.
Tapi, dewi fortuna sepertinya tak berpihak padaku hari ini. Baru di pagi ini, aku membangun kembali semangatku yang sempat pecah berantakan dan di pagi ini pula, sesuatu terjadi dan kontan merobohkan kembali semangatku.
Ia ada disana—Dewata Rio Hakiki ada di sana. Tapi ia tidak sendiri. Seorang gadis tinggi semampai berkacamata dan berambut sebahu ada disana juga. Mereka terlihat sangat ceria, menampakkan suasana hati yang cerah lewat binar mata mereka. Dalam sekejap, aku telah terhenyak menatap pemandangan itu. Hatiku begitu masygul melihat kedekatan sepasang kekasih itu. Aku hampir tak kuasa membendung air mata yang hendak menetes untuk ke sekian kalinya, sebelum aku sadar, seseorang memanggilku dari kejauhan.
“Tara.....!”
Rupanya itu Hibat Amura, temanku yang duduk bersebelahan denganku di kelas IX A. Aku segera mengubah raut wajahku dan berusaha tersenyum di hadapannya. Namun tampaknya Hibat tahu ada yang tak beres denganku.
“Tara, kamu tidak seperti biasanya. Apa kamu sedang dilanda masalah? Berbagilah denganku..” Hibat menatap tajam mataku, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya. Ia sedikit terkejut melihat mataku yang sembap.
“Ah, tidak, sama sekali tidak ada apa-apa, Hi.. Aku hanya lelah karena semalam aku tak bisa memicingkan mataku sedikitpun.” Aku berbohong pada satu-satunya orang yang belum pernah kubohongi.
“Jika kamu tidak bisa tidur, itu berarti kamu mempunyai sesuatu yang membebani pikiranmu.”
Aku baru sadar, merupakan sebuah kesalahan untuk membohongi orang peka seperti Hibat.
“Aah, tidak, Hi.. Sungguh, mungkin karena tekanan ujian nasional, seperti anak-anak pada umumnya.”Aku sempat tak yakin dengan jawabanku, tapi syukurlah, Hibat hanya memandangiku dan sekejap kemudian ia telah menggandengku dan kami melangkah bersama menuju kelas. Aku diam-diam melirik ke arah dimana Kiki tengah bersama kekasihnya tadi. Mereka sudah tidak ada disana. Tapi sejurus kemudian, aku melihat Kiki menuruni tangga dari lantai atas sekolah, dimana ruang kelas VIII ada disana. Rupanya Kiki baru saja mengantarkan Bella—kekasih barunya menuju ruang kelasnya. Lagi-lagi hatiku masygul dibuatnya. Aku terus memandangi Kiki hingga ia sampai di kelasnya, kelas IX B yang bersebelahan dengan kelasku. Aku menelan kekecewaan di hatiku dan mencoba untuk tetap bungkam. Sepanjang hari  ini, aku mencoba memahami materi pelajaran intensif dengan segenap konsentrasi yang masih bisa ku himpun. Namun, semakin keras aku mencoba untuk berkonsentrasi, bayangan wajah Kiki dan Bella semakin memenuhi pikiranku.
“oh, ayolah. Aku hanya ingin hari ini cepat berlalu. Jadi aku bisa berkeluh kesah dan meluapkan semuanya di kamarku.”
“Eh, Tara?” Nampaknya Hibat mendengar keluhanku.
“Tidak, maksudku soal ini sulit..”
Dan jam demi jam pelajaran kulalui tanpa konsentrasi berarti. Waktu terasa berjalan dengan amat lamban. Aku ingin segera pulang, namun waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi. Waktu istirahat pertama pun tiba. Aku sangat enggan beranjak dari kursi, namun Hibat terus memaksaku menemaninya pergi ke kantin sekolah. Apa daya, aku terpaksa mengesampingkan rasa engganku demi memenuhi keinginan sahabatku, Hibat.
Di kantin sekolah, suasana sudah agak lengang karena waktu istirahat hanya tersisa sekitar 5 menit. Aku yang menunggu Hibat dengan enggan di depan kantin seketika terkesiap ketika seseorang menabrakku dengan kuat dari belakang. Aku kontan meneriakkan nama Hibat karena kupikir itu adalah ulah Hibat. Namun ketika aku menoleh, yang kulihat justru wajah anak itu. Agitha Bella Briliani. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutku. Aku begitu terhenyak dengan kejadian itu. Apalagi, ia hanya mengatakan 2 kata yang cukup mengecewakan : ‘maaf, ya’, dan berlalu begitu saja.
“Huh, apa yang Kiki suka dari gadis lancang sepertinya!!” aku mengumpat dalam hatiku.
Hibat sempat menanyakan kejadian yang menimpaku, tapi aku bersikeras tidak mau membicarakannya dengan Hibat. Mungkin karena sebelumnya Hibat belum pernah melihatku sekesal ini dengan seorang yang—menurut sepengetahuan Hibat—sama sekali belum ku kenal, ia menjadi sangat penasaran dan mencoba menginterogasiku. Namun aku mengelak dari pertanyaan-pertanyaan Hibat. Dan karena itulah, setelah pergi dari kantin, Hibat tidak  mau bicara padaku. Biarlah, toh seperti biasanya, dalam hitungan menit Hibat sudah kembali seperti sediakala.
Sisa hari inipun kulewati dengan serangkaian mata pelajaran yang tidak begitu kusukai. Bapak dan ibu guru tidak lelah mengingatkan anak-anaknya tentang UN yang berjarak 6 bulan dan Ulangan Semester yang tidak lama lagi akan dilaksanakan.Sementara itu aku malah sibuk memikirkan suatu hal yang sama sekali tidak urgen untuk dipikirkan saat ini.
—Kamu benar-benar memilih waktu yang tidak tepat untuk menjalin hubungan. Kenapa baru sekarang, saat ujian benar-benar dekat di depan kita? Kalau saja dari dulu kau membuka hatimu, tentunya ada kesempatan untukku—
Sedetik kemudian, aku baru sadar bahwa pikiranku terlalu konyol. Ironisnya, kekonyolanku berlanjut. Aku pun mulai melakukan hal-hal yang sangat tidak penting di kelas, sama sekali tidak mendengarkan ceramah dari ibu guru di jam terakhir ini.
1.      Amun Ra. Dengar keluhku di bawah sinarmu. Dengar pujaku dalam tiap terpaan cahayamu. Kau membuatnya tampak begitu sempurna...
2.      Kenyataannya, sekarang, untuk yang kesekian kalinya, aku telah terkena tipu daya cinta. Kali ini aku benar-benar tersihir dan aku benar-benar telah kehilangan kendali atas diriku. Hati kecilku berkata, ‘tak sepantasnya kamu marah atas kenyataan ini. Betapapun menyakitkan kenyataan ini untukmu, terimalah. Kau tahu kau ini kuat. Lupakan. Anggap saja sebagai pelajaran hidup yang membuatmu semakin kuat dan tidak terbantahkan.’
3.      Dia itu MILIKKU. Bukan MILIKMU. Tapi karena aku ingin bahagia melihatnya bahagia, jadi kubiarkan saja kamu MEMILIKINYA. Jika kau berani menyakitinya, maka aku akan mengoyak jantungmu dan meminum darahmu!
4.      Berlebihan.
5.      Aku benar-benar menggila!
6.      Cinta adalah pasir. Semakin erat aku menggenggamnya, semakin banyak pasir yang hilang dari genggamanku.
7.      Mengapa harus bertepuk sebelah tangan, jika kemarin tangan kita telah dipertemukan? Mengapa harus bertepuk sebelah tangan? Padahal kau telah memberiku kepercayaan : aku berhak dicintai.
8.      Aku tahu hampir segalanya. Ingatkah kita punya merek telepon seluler yang sama? Lagu favorit yang sama? Hobi yang sama? Kenapa hanya perasaan kita yang membatasi segala kesamaan diantara kita yang sebelumnya telah Tuhan takdirkan?
Jika kau ada dan membaca ini, mungkinkah kau baru mengerti bahwa ada aku yang mencintaimu lebih baik dari siapapun, termasuk Bella yang kau banggakan itu?
Jika ia meninggalkanmu, datanglah padaku. Ada Tanazulia Taraqi disini.Tanazulia Taraqi, BUKAN Agitha Bella Briliani.
Bel pulang berbunyi nyaring ketika aku selesai menyalurkan kekonyolan dan kekecewaanku lewat tulisan di kertas yang langsung kuremas-remas dan kubuang ke tempat sampah. Namun hariku belum berakhir sampai disini. Aku masih harus browsing mencari tugas lewat internet. Dengan memanfaatkan fasilitas wifi, aku yang ditemani Hibat ber-wifi-ria di depan kelas. Hibat tiba-tiba memutuskan pulang dan meninggalkanku sendiri. Menit demi menit berlalu, aku cukup puas dengan hasil yang kudapatkan. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore, karena itulah aku bergegas membereskan laptopku dan keluar dari sekolah. Aku menyeberang jalan dan tanpa kuduga, Kiki ada di seberang sana sendirian. Aku memutuskan untuk bersikap seperti biasa. Namun tak bisa ku pungkiri, aku sangat canggung berada di dekatnya. Kiki kemudian mengajakku mengobrol, tentang pelajaran ini dan itu. Sangat jelas di wajahnya bahwa ia sedang dalam suasana hati yang amat baik. Sangat kontras dengan apa yang kurasakan. Rasa penasaranku mulai muncul. Aku nekat memberinya ucapan selamat. Aku memaksakan diri tersenyum padanya dan mengucapkan sesuatu pada Kiki.
“Selamat ya, atas ke-jadian-nya.” Aku sengaja memenggal kata itu menjadi sedemikian rupa. Tak kusangka, ia terdiam sesaat, dan mulai angkat bicara dengan nada yang berbeda.
“Apa yang kamu bicarakan? Apa maksudmu?”
“Maksudku, bukankah buah bibir yang beredar itu memang benar?” aku berusaha mati-matian untuk terdengar tidak menyedihkan.
“Tidak.” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
Kami pun terdiam untuk jangka waktu yang cukup lama. Kemudian sebuah mikrobus datang. Aku langsung menaikinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Kiki.
Dan  ketika Kiki telah berada jauh di belakangku, mataku memanas karena Kiki yang begitu dingin padaku. Tidak seperti dulu.
“Dasar kamu munafik. Tapi aku tetap menyukaimu.” Gumamku dalam hati.
Seperti malam sebelumnya, malam ini pun aku menangis tersedu-sedu di sela-sela ingatanku yang terbang ke masa lalu yang menyenangkan...
Aku sangat ingat dengan sosok itu. Satu-satunya anak laki-laki di kelas 8 yang hampir setiap hari berteman dengan anak-anak perempuan. Satu-satunya anak laki-laki yang membawa botol minuman di tasnya. Anak laki-laki yang rajin mengerjakan PR dan sangat disayangi orang tuanya. Anak laki-laki yang suka makanan berperisa strowbery. Anak yang keras kepala tapi menyenangkan. Anak laki-laki yang berhasil menarik hatiku. Anak yang selalu membuatku terpesona dengan segala polah tingkahnya. Anak yang memberiku harapan untuk dicintai. Satu-satunya anak laki-laki yang memanggilku dengan buaian manis ‘endul’ di setiap perkataannya. Dia, Dewata Rio Hakiki. Kiki yang mengisi relung hatiku hingga sekarang ini. Kiki yang selalu kuturuti permintaannya. Kiki yang dulu sangat dekat denganku. Kiki yang pesan singkatnya tidak pernah terhapus di memori teleponku. Kiki yang membuatku tergila-gila. Kiki yang membuatku takut dan ragu untuk bicara jujur. Aku yang selalu takut jika ia tak mau lagi dekat denganku. Aku yang sangat takut jika aku terluka karena Kiki tak punya rasa yang sama denganku. Aku yang selalu meminta kepastian dari Tuhan akan perasaan Kiki padaku. Dan aku yang menangis tersedu-sedu ketika akhirnya Tuhan memberikan jawaban atas pertanyaanku tentang perasaan Kiki padaku.
Aku hancur karena permintaanku sendiri.
Seandainya aku tak pernah meminta pada Tuhan tentang hal konyol itu, tentu aku tak akan hancur lebur seperti ini. Biarlah aku menjadi buta dan tak tahu apa-apa tentang Kiki, daripada aku harus menyaksikan kebahagiaan Kiki dengan orang lain diatas kehancuranku.Namun karena Tuhan terlanjur menjawab pertanyaanku, biarlah sekarang Kiki bahagia. Walaupun aku hancur karenanya.
Masa lalu adalah milikku. Tak peduli Kiki akan mengingatnya atau tidak. Yang jelas masa itu kujalani dengan Kiki. Jadi aku tak perlu iri dengan Bella. Karena sebelum Bella, Kiki telah mengalami masa indah denganku, walau hanya dilihat dari sudut pandang seorang Tanazulia Taraqi yang tak beruntung.
Walau aku hampa dan lukaku semakin tergores lara.. Kucoba jalani waktu yang bergulir ini seperti yang seharusnya, seperti yang telah Tuhan goreskan dalam kanvas hidupku.J
Hari-hariku sebagai siswi kelas IX SMP terasa sangat tidak menyenangkan. Aku sudah tidak pernah betah lagi berada di sekolah, sangat berbeda ketika aku masih ada di kelas VIII. Selain karena masalah Kiki dan kekasih barunya serta ujian nasional yang semakin dekat, hal lain yang membuatku merasa tidak betah adalah sikap Kiki yang berubah 180 derajat padaku. Bagiku tidaklah terlalu menjadi masalah jika cintaku pada Kiki bertepuk sebelah tangan, toh aku sudah biasa diperlakukan begini oleh Tuhan, dan aku juga sosok yang tidak mudah terpuruk sedemikian dalam. Begitu terjatuh, aku tak memerlukanwaktu lama untuk bangkit. Tapi, yang aku cemaskan adalah Kiki yang tak pernah lagi tersenyum padaku. Ia berubah sangat dingin padaku. Suatu hari, aku pernah terlibat obrolan lewat jejaring sosial dengan Kiki. Aku sedih karena Kiki terus-terusan menyalahkanku. Ia bersikeras bahwa yang selama ini sombong adalah diriku, bukan Kiki. Kiki merasa bahwa ia tak pernah mendiamkanku, ia merasa aku yang mendiamkannya.
“Bagaimana mungkin aku bisa berbicara denganmu? Jika tiap kali aku ingin mengatakan sesuatu, kau memalingkan wajahmu seakan tak ingin melihatku lagi..?” Kiki berceloteh lewat akun jejaring sosialnya.
“Memangnya kapan kau ingin berbicara denganku?”
Tak pernah ada jawaban lagi dari Kiki.
“Kau tahu? Itu karena aku terlalu lemah untuk menatapmu. Aku terlalu takut untuk melihat rona bahagiamu.” Aku bergumam, tanpa pernah berani mengungkapkannya pada Kiki.
Dan semakin hari, semakin dekat dengan ujian nasional, aku dan Kiki semakin jarang berkomunikasi. Kami seperti orang yang tak saling kenal. Hubungan kami makin renggang. Aku juga sering melihat Kiki sedang berduaan dengan Bella. Pemandangan yang selalu sukses membuatku mual dan kesal sendiri.
Hingga saat memasuki ulangan semester, walaupun konsentrasiku acapkali terganggu oleh bayangan wajah Kiki dan Bella, aku berusaha mati-matian belajar, supaya dapat menaikkan peringkatku yang terbiasa bertengger di kisaran 20 besar paralel. Aku sering berpikir, akankah prestasi Kiki berkurang sejak ia menjadi kekasih Bella? Tapi kemudian aku sadar. Itu sama sekali tak ada hubungannya denganku. Aku mencoba fokus dengan janjiku pada ibu untuk masuk 10 besar. Dan syukurlah, berkat usahaku dan doa orang-orang terdekatku, dalam tes kali ini aku berhasil meraih peringkat 2 di kelas dan peringkat 9 dari 255 siswa kelas IX. Prestasi yang cukup membuat orang tuaku tersenyum padaku. Dan saat upacara bendera Senin pagi, saat yang kutunggu akhirnya tiba. Saat dimana anak-anak peringkat 1-10 besar paralel dari kelas VII, VIII dan IX di panggil maju ke depan dan menerima piagam penghargaan. Satu persatu nama anak dipanggil. Sampai di peringkat 8, aku menelan ludah karena selisih poinnya begitu tipis denganku. 1557 dan 1556 poin. Dan yang membuatku makin mual adalah, peringkat 8 diraih oleh..
“..Dewata Rio Hakiki dari kelas IX B..”
“Dan peringkat 9, dengan jumlah nilai rapor 1556, diraih oleh Tanazulia Taraqi dari kelas IX A..”
Aku maju ke depan diiringi tepuk tangan teman-teman kelas IX A. Saat itu, Bella menjadi dirigen, ia terlihat menlempar senyumnya pada Kiki. Lagi-lagi aku mual dengan pemandangan seperti ini. Sungguh, kenangan yang kukira tadinya akan menjadi indah justru membuatku muak dan kesal. Kenapa aku masih kalah dibandingkan Kiki? Aku kesal dengan diriku sendiri. Aku bertekad untuk melupakan Kiki. Walaupun aku benar-benar tak bisa melakukannya.
Ujian nasional kulalui dengan cukup lancar. Meskipun tak ada satu pun nilai 100, tapi dengan NEM 36,00 aku cukup optimis bisa masuk SMA favoritku, meskipun aku tahu, aku gagal di jalur PMBP. Dan lagi-lagi aku muak karena Kiki diterima lewat jalur khusus itu. Padahal tadinya aku lega karena sepengetahuanku, Kiki tak akan masuk SMA yang sama denganku. Jadi aku pikir, aku punya kesempatan untuk melupakannya. Dugaanku salah, aku melihatnya diterima saat pengumuman peserta didik yang lewat jalur PMBP tiba. Tapi akhirnya, dengan susah payah aku berhasil masuk ke SMA ini lewat jalur tes seleksi, menyusul Kiki yang sudah diterima terlebih dahulu.
Dan aku semakin tak menyangka, Tuhan membuatkan jalan yang sedemikian rumit bagiku. Setelah beberapa bulan resmi menjadi siswi kelas X, sekitar pertengahan bulan Agustus, aku mendengar kabar bahwa Bella memutuskan hubungan dengan Kiki, karena Kiki terlalu sibuk dengan urusannya. Entah mengapa, aku tidak terlalu bahagia menanggapi kabar ini. Tapi tak bisa ku pungkiri, terbesit sedikit harapan dalam benakku. Apalagi, belakangan ini aku menjalani pelatihan debat bersama-sama dengan Kiki. Kerenggangan yang sempat membatasi jarak antara aku dan Kiki makin tersamarkan. Aku mulai berkomunikasi kembali dengannya. Namun, memang ada sesuatu yang sangat berbeda dengan Kiki. Dia tidak lagi sehangat dulu, bisa tertawa dengan renyah. Sekarang, sangat sulit bagiku membuatnya tersenyum. Aku senantiasa mencoba menbangkitkan  ingatannya tentang masa laluku dengannya.
“Hei. Apakah kamu ingat dengan es krim stroberi yang setiap hari kamu beli di kantin SMP dulu?”
“Tidak. Lagipula itu tidak penting.”
Sungguh, Kiki bukanlah Kiki yang dulu.
“Hei, aku rasa kamu dulu pernah iseng menuliskan sesuatu di buku IPS-ku, apa itu?”
“Entahlah.”
Aku mencoba bersabar, karena mungkin sangat tidak mudah untuk membuka hati orang yang baru saja patah hati. Aku mencoba dengan segenap usaha, mencoba terlihat baik dan apa adanya di depannya. Aku tidak pernah terlambat membalas pesan singkatnya. Aku berusaha tidak membuatnya kecewa berteman lagi denganku. Namun, ia tak pernah membalas pesan singkatku yang menurutnya tidak terlalu penting dengan cepat. Ia baru akan membalas jika pesan singkatku berisi sesuatu tentang masalah debat, pelajaran, dan masalah-masalah yang ada di lingkup itu. Yang kulihat, ia selalu sibuk dengan kegiatannya tapi masih menyempatkan dirinya mengenang dan mencoba mendekati Bella lagi, lewat jejaring sosial. Tak urung, hal ini begitu membuatku penasaran dengan sosok Bella yang bisa membuat Kiki bertingkah sedemikian berbeda.
Dan, bulan demi bulan berlalu. Tepat tanggal 23 Maret 2013, Bella merayakan ulang tahunnya yang ke-15. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Kiki, dan aku benar-benar tak mau tahu. Tapi, siang ini aku tak sengaja membuka profil jejaring sosial milik Bella. Disana ada hampir 100 orang yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Bella. Namun aku begitu terkejut ketika membaca percakapan antara Bella dengan seorang temannya.
“Selamat ulang tahun, Bella. Acara makannya aku tunggu.”
“Wah, terima kasih. Tapi suatu saat.. J
“Suatu saat? Lebih baik aku memintanya pada Kiki saja.”
“Kiki? Aku sudah tak menyukainya!”
“Dasar kamu labil. J
“Biarkan saja.. J
Aku miris melihat Bella yang begitu mudahnya mengatakan bahwa ia tak lagi menyukai Kiki, padahal Kiki begitu berubah drastis sejak ia mengenal Bella dan mencoba mendapatkan Bella kembali.Aku merasa jengkel, kesal dengan ulah Bella, walaupun aku tak pernah mengenalnya secara langsung.
Seandainya Kiki membaca ini, mungkinkah ia akan berhenti menaruh harapan pada Bella?—
Ya, tentu. Kiki akan sadar bahwa Bella tak seperti yang ia harapkan. Aku berpikir untuk menunjukkannya secara halus pada Kiki. Aku berpikir mungkin Kiki akan mulai mempertimbangkan diri untuk membuka hatinya pada orang lain, termasuk padaku. Namun, tiba-tiba aku teringat kejadian beberapa hari lalu ketika aku tak sengaja melihat pesan-pesan Kiki pada Bella satu tahun yang lalu. Pesan-pesan yang berisi curahan kegundahan hati Kiki akan ketakutannya kehilangan Bella. Aku bisa merasakan betapa Kiki gelisah dan begitu tidak siap mengakhiri hubungannya dengan Bella. Aku belum pernah melihat Kiki berkata sedemikian tulus.
Jika kita bisa bersama lagi, aku berjanji akan mencintaimu dengan benar—
Walaupun itu ditujukan pada Bella dan bukan padaku, tapi aku dapat merasakan bahwa Kiki adalah sosok yang sangat tulus dalam mencintai seseorang.
Aku menjadi iba jika harus melihat Kiki hancur karena pernyataan Bella yang demikian menyakitkan. Karena itu, aku mengurungkan niatku. Biarlah, cukup aku yang mengetahuinya. Sudah sangat cukup bagiku mengetahui Bella tak lagi mencintai Kiki.
Aku akan membiarkan Kiki terus berharap. Sebagai sahabat yang tak dianggap, aku tetap harus mendukungnya. Selama ia bahagia, aku akan mencoba bahagia, meskipun harus memaksa. Aku akan mencoba menjadi teman satu tim yang baik, aku harus memastikan bahwa aku benar-benar melakukannya. Aku adalah teman satu tim yang baik. Tidak lebih dari itu.. J
Flashback : 11 Maret 2013
“Sulit sekali menggambar ekspresi manusia di ibu jari. Bisa kau gambarkan?”
Kiki melihatku dan sekejap kemudian, ia memegang tangan kananku dan mulai menggambar sesuatu di ibu jariku.
“Sudah selesai.”
Aku terkejut, karena Kiki menggambar ekspresi orang menangis dengan detail air mata yang begitu deras.
—Aku tahu, aku paham apa yang kau rasakan. Jangan lagi bersedih. Karena aku akan turut bersedih—
Aku hanya bergumam dalam hati. Aku memukul bahunya dan tersenyum padanya. Aku  menghapus gambar Kiki di jariku. Aku pergi meninggalkan Kiki yang masih bingung dengan apa yang barusan kulakukan.


Menggila
oleh Hemi Trifani

Berawal dari senyum manis
Berakhir dengan hujan tangis
Raga, habis meniti kisah yang ironis
Filantropi naas yang berakhir tragis

Kenyataan yang berputar balik
Bagai awan badai tropik
Menyayat hati sebagai badik
Menghempas asa hingga ke belik

Belalak mata luluhkan jiwa
Gemulai tubuh penuh pesona
Paraunya menggoda telinga
Khianatnya adalah sebesar-besarnya luka

Aku lemah diperdaya cinta
Lukaku makin tergores lara
Apa daya, aku tak lagi kuasa
Membendung rasa yang makin menggila


----TAMAT----

Hemi Trifani


No comments:

Post a Comment

Entri Populer

Total Pageviews

Artikel Terpopuler